Elegi Api Keabadian


Api tak kunjung padam. Begitu orang madura menyebut salah satu destinasi wisata  yang terletak di kabupaten pamekasan. Sebuah wisata yang cukup terkenal di Pulau madura. Dulu di buku RPUL zaman esde, destinasi ini selalu dicantumkan dalam buku ini. Hal ini tentu menandakan sebuah kepopuleran atau keandalan wisata tempat ini. Saking eklusivitasnya, Api ini tak pernah dijadikan pelita obor sebuah acara keolahragaan. Ia memiliki eleginya sendiri. Yang ini miris kayaknya yah hehe

“Api ini tidak pernah akan mati” Cerita emak enni di sela sela sore yang mendung. Emak enni ini  adalah tetangga di depan rumah dinas ortu saya. Umurnya 55 tahun. Keluarganya cukup dekat dengan keluarga saya. Anak anaknya menjadi teman sepermainan saya.

“Kenapa bisa begitu mak enni? Tanya saya. Saya masih ingat. ketika itu saya masih umur tujuh tahun. Duduk di bangku kelas 2 esde.

“Pasti tanahnya dikasih minyak gas Mak, makanya ga pernah padam “Potong saya tak sabaran karena emmak enni tak segera memberi jawaban.

“Yah seperti itu”. Jawab emmak enni tenang sambil tangannya begitu lincah menjumput helai helai daun maronggi. “Dahulu ketika zaman kompeni, rakyat madura berperang melawan belanda. Hampir tujuh hari tujuh malam. Ketika Pasukanbelanda terdesak mundur,  Pasukan belanda menumpahkan jerigen jerigen minyak tanah agar rakyat madura berhenti menyerang. Sekejap madura dilalap lautan api. Dan api yang masih hidup saat ini merupakan sisa sisa api zaman perang dulu”. Mata mak enni tak berkedip menatap mata saya. Ada nyala disana.

Astagaaa. Dan bayangan imajinasi tentang pertempuran sengit itu mendadak berkelebat di kepala saya. Keji. Mengerikan. Saya bergidik.

Sayang cerita emmak enni hanya dongeng belaka. Tidak benar adanya. Ketika saya mempelajari sejarah madura, peristiwa ini tak pernah ada. Cerita ini hanya sebuah kisah untuk menakut-nakuti anak anak kecil agar tak berbuat berlebihan. Selalu.

Entah kenapa sejak kecil hingga beranjak dewasa, saya belum pernah sekalipun berkesempatam mengunjungi wisata api tak kunjung padam. Padahal Jalur selatan kerap saya lintasi ketika hendak berpergian ke surabaya dari sumenep. Saya hanya bisa memandang dari balik kaca jendela bus. Sebuah Plang Papan bertuliskan penunjuk jalan wisata api tak kunjung padam. 50 meter ke arah utara pamekasan. Tak begitu Jauh. Sangat dekat malah.

Banyak sebab yang membuat saya enggan berkunjung ke api tak kunjung padam. Selain tak memiliki kerabat di Pamekasan, tetapi juga rasa sentimen terhadap wisata ini. Dalam beberapa kesempatan saya sempat melihat liputan wisata api tak kunjung padam di televisi. Saya masih ingat cuplikan cuplikan tayangan itu. Ketika itu presenternya  membakar jagung di siang yang terik di areal api tak kunjung padam. Sayangnya, mereka kurang mengemasnya dengan apik, sehingga tampilan tayangan wisata ini terlihat biasa saja di mata saya. Tidak terlalu menarik. Tak ada bedanya melihat api membakar ilalang di ladang belakang rumah saya . Yang kelihatan unik hanyalah sebuah api yang tak pernah kehabisan napas untuk tetap menyala.

Dan butuh 20 tahun untuk mewujudkan kesempatan itu, melihat api tak kunjung padam secara langsung. Saya mendapatkan pekerjaan di kota pamekasan.

“Gak ada apa apa ndra disana”

“Gak menarik”

“Biasa saja”

Beragam komentar penolakan dari teman teman kantor saya ketika saya mencoba mengajak mereka kesana. Dan hebatnya saya pun juga tak menaruh niat memasukkan destinasi wisata ini ke dalam agenda eksplore wisata madura yang mencoba saya tuntaskan. Sampai sebuah pesan masuk ke hape saya. Sms dari kawan yang blognya kerap saya kunjungi.

“Indra, kalau ke madura ajakin saya ke air terjun toroan, api tak kunjung padam, pantai lombang sama wisata kuliner. Kayaknya madura banyak tempat wisata” Tulisan sms teman saya. Sepertinya dia telah melakukan riset sebelum benar benar berkunjung ke madura. Saya tak segera membalas sms nya

“Mas indra kalau mw kesana, mending malam hari. Kalau siang hari apinya ada, tapi ga sebagus malam hari” Kata mbak dita–pegawai lokal di kantor saya–ketika saya berkonsultasi dengannya mengenai wisata ini. Aha..akhirnya saya menyadari sesuatu. Melihat api itu harus malam hari. Biar terasa kemagisannya.

Saya membalas sms teman saya,”Kamu kalau ke madura, kalo bisa sampe pamekasan malam hari yah. Api tak kunjung padam adalah spot pertama yang kita kunjungi sebelum balik ke kosan”

“Siap ndra” balasan sms teman saya

Jam 9 malam, teman saya tiba di terminal pamekasan. Segera saya menjemputnya disana. Sampai di terminal, kami langsung menuju kawasan wisata api tak kunjung padam. Karena letaknya hanya 5o meter dari terminal, kami hanya butuh 5 menit untuk mencapainya. Sebenarnya jaraknya sekitar 500 meter. Disana kami tidak dipungut karcis. Penjaganya sudah pulang ke rumahnya. Tidak begitu banyak orang. Meski begitu, tempat ini tetap begitu ramai. Deretan kios-kios suvenir tampak mengelilingi sebidang tanah, yang di atas permukaanya tampak beberapa titik api yang mengeluarkan sebuah nyala.

“Dik ini jagungnya dibeli buat dibakar disana”, Seorang ibu setengah baya menawarkan dagangannya. Mengenakan pakaian kebaya brokat dan sarung, Pakaian tradisional khas madura. Tak ada lapak penjual jagung mentah lagi yang tersisa selain dirinya. Sayang malam ini saya tak berselera untuk makan lagi. Sebagai gantinya saya mencari potongan kayu. Kata orang orang, kalau tanah di areal api ini dicungkil, tanah akan mengeluarkan api dengan sendirinya. Karena diliputi rasa penasaran, saya mencoba mencungkil tanah. Dengan satu hentakan cungkil kayu..taraaaa…sebuah nyala api kecil tampak malu malu berkobar-kobar. Tak lama kemudian api kecil ini menjelma api yang kobaran lebih dahsyat. Wow amazing. Takjub saya dibuatnya. Seolah masih tak percaya, saya mencoba mencungkil tanah dari sudut yang berbeda. Hiaiatt..Taraaa..keluar lagi nyala api. Ajaib. Speechless. Untungnya dibawah tanah ini bukan kawasan larva berapi. Kalau tidak, saya sudah tersedot dan terpanggang menyisakan abu.

wpid-img_20150402_220206.jpgSaya tak bisa menjelaskan fenomena ini. Di beberapa artikel yang saya baca, menyebutkan bahwa tidak ditemukan kandungan gas di sekitar areal ini. Meski saya kurang begitu yakin,  toh saya tidak mau ambil pusing. Bagi saya, setiap keajaiban penciptaan Tuhan memiliki caranya tersendiri untuk menyampaikan sebuah pesan. Makna Tersirat. Bersyukurlah orang-orang yang mau mengambil hikmah dari setiap penciptaanNya. Mengambil sebuah pelajaran dari sebuah tamasya pikiran mengenai hakikat kebesaran tuhan 🙂 .

“Ini api lakek (baca:pria) mas indra. Di Pamekasan ini  ada dua jenis api tak kunjung padam. Satunya namanya api binik (baca:wanita).

“oh iya ta?? Good…api binik tidak jauh dari sini?”tanya saya

“Dekat kok. Kita kesana. lebih bagus” Jawab Pak ery, satpam kantor yang menemani saya malam itu. Segera saya beranjak dari tempat ini dan menyalakan mesin motor saya kembali. Saya menyusul di belakang motor pak ery. Sempat tersesat sebentar karena pak ery rupanya lupa lupa ingat tempat persisnya. Tak lama kemudian, Motor saya menembus suatu desa. Rumah-rumah penduduk tampak telah memadamkan lampu. Saya melirik jam tangan. Sudah lewat jam sepuluh malam. Sebentar lagi malam akan beranjak larut.

Jalanan aspal berganti jalan tanah berbatu. Tiba-tiba saya sudah memasuki kawasan tegalan yang cukup sepi. Tak ada rumah rumah. Barisan pepohonan bambu tampak rimbun. Tak ada penerangan yang cukup memadai. Suasana begitu mencekam. Hanya lampu sorot motor yang menjadi penenang perjalanan kami. Pohon pohon tinggi tampak menjulang. Pekat. Segalanya hitam. Semoga pak ery tidak salah membawa saya jalan. Saya lajukan kecepatan motor sembari berdoa semoga takkan tidak terjadi hal hal buruk menimpa. Sekarang musim begal. Saya lebih takut sama begal, maling, atau rampok daripada makhluk halus. Sudah sering lihat makhluk halus juga.

Akhirnya kami tiba di areal kawasan api wanita. Dari kejauhan, bunyi gelegaknya begitu terasa di telinga. Tidak ada sesiapapun disini. Tidak ada rumah-rumah disini. Tak ada orang orang disini. kegelapan menyandera. Untung bulan sabit di atas sana masih menyisakan cahayanya disini.

saya turun dari sepeda motor. Sebuah cahaya kecil bergerak tak teratur di gubuk ujung sana. Seperti percikan api dari sebuah puntung rokok. Ternyata ada orang disini. Saya melihat Bapak tua  sedang merokok di beranda gubuk. Mungkin dia seorang juru kunci. Entahlah.

“Tak langkong pak. Kaula minta izin nyongo’a apoy edhinna’ ” Kata saya dengan kosa kata bahasa madura yang saya kuasai seadanya. Ia kelihatan sibuk menelpon dengan hapenya sambil merokok.

“enggih” , Jawab bapak itu sambil meneruskan percakapan diselulernya. sepertinya ia adalah warga sekitar yang sengaja menghabiskan waktu disini. Sebersit kekaguman muncul dari hati saya. Bapak ini memiliki nyali besar untuk berada sendirian di tempat ini. Di tengah gulita tanpa merasa takut sedikitpun akan kehadiran makhluk makhluk astral.

wpid-img_20150402_223800.jpg

Saya mendekati api wanita yang terletak tak jauh dari gubuk. Apinya begitu besar lebih dari yang saya duga. Terasing di tengah tanah tegalan. Hawa panas mendadak menyerang. Sejenak Saya merasa hangat. Saya tak tertarik untuk mencungkil tanah disini. Sedari awal, insting saya sudah merasa tak nyaman. Selain tempatnya yang sedikit angker, Mungkin karena suara gelegak apinya yang terdengar begitu menyeramkan. Sebuah sambutan yang agak ganjil. Sambutan kematian.

Api meliuk liuk dahsyat. Tak lelah. Angin tak mampu menyurutkan nyalanya. Daun daun pohon bergemerisik. Malam semakin larut. Mistis.

Api meliuk liuk dahsyat. Lebih kencang. Menghipnotis malam dalam pusarannya. Tiba-tiba saya merasakan sebuah getaran disini. Terasa begitu nyata. Dekat. Nyanyian api yang terdengar begitu pilu. Menyayat hati.

wpid-img_2530.jpg

Hai kawan, Lihatlah kobarannya, lihatlah tariannya, lihatlah liukannya. Adakah kau melihat? Gerakan-gerakan terpasung. Gerakan gerakan impian tentang  Kebebasan. Kemerdekaan tanpa kendali.

Lihatlah Ratapannya. Disana. Adakah kau melihat? Ia tak lagi memiliki air mata. Kering. Ia telah puasa tidur. Terjaga memohon belas kasihan setiap hari.  Tak tahu dosa apa yang ia perbuat. Tuhan menghukumnya berhenti melangkah. Berhenti Menjalar kemana ia suka. Padahal itu adalah kegemarannya selama di rimba neraka.

Hai kawan. Coba kau dengar. Adakah kau mendengar? Lirihan dan gelegaknya.  Tangisan pilu merindukan tanah leluhur. Ia amat Kesepian. Terasing. Sebatang kara. Ia amat rindu neraka. Kesedihan itu tampak begitu menggumpal. Padat. Tak berbentuk. Ya tuhan, Ingin sekali rasanya memadamkan api api ini. Agar saya tak perlu  lagi  mndengar jeritannya yang menyayat hati.

Rasakan nyalanya, Rasakan hangatnya, Rasakan baranya. Adakah kau merasa?? Api api ini begitu liar. Mendesis Kelaparan. Lama tak merasakan asupan belaian neraka. Ingin sekali lagi rasanya memadamkan api ini dengan sebotol air yang saya bawa. Tapi tak tega. Bukan Tak tega. Lebih tepatnya tak tahu bagaimana harus memadamkan nyala api ini. Saya beristighfar berkali-kali. Ya Allah jadikanlah hambamu ini, penghuni SurgaMu yang Kekal. Amin.

wpid-img_2521.jpg

Mereka yang tak paham dahsyatnya api, akan mengobarkan dengan cara sembrono. Mereka yang tak paham dahsyatnya energi cinta, akan meledakkannya dengan sia-sia- Dewi Lestari.

Diterbitkan oleh Indra

Civil Servant and Independent Traveler

2 tanggapan untuk “Elegi Api Keabadian

Tinggalkan komentar